Perkembangan teknologi digital dalam dua dekade terakhir telah mengubah wajah dunia secara drastis. Kehadiran smartphone dan media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk dalam keseharian para siswa. Anak-anak dan remaja kini tumbuh dalam ekosistem digital yang sarat dengan informasi cepat, visual yang instan, dan interaksi tanpa batas. Di satu sisi, hal ini membuka peluang luar biasa dalam akses informasi dan pembelajaran. Namun di sisi lain, ada dampak besar yang tidak bisa diabaikan: tergerusnya nilai-nilai etika, moral, dan karakter siswa secara perlahan tapi pasti.
Realita yang kini dihadapi oleh sekolah-sekolah di berbagai daerah menunjukkan adanya pergeseran perilaku yang cukup mengkhawatirkan. Rasa hormat kepada guru dan orang tua yang dulunya menjadi nilai luhur dalam budaya pendidikan, kini semakin memudar. Tak sedikit siswa yang menunjukkan sikap acuh, tidak sopan, bahkan terang-terangan menentang arahan yang diberikan. Lebih parah lagi, dunia maya yang seharusnya menjadi ruang belajar dan ekspresi justru kerap dijadikan ladang bagi cyberbullying, penyebaran hoaks, hingga konten-konten negatif yang merusak pola pikir.
Tak berhenti di situ, kecanduan gadget juga membawa dampak serius pada kemampuan komunikasi sosial siswa. Percakapan tatap muka tergantikan oleh pesan singkat yang kering emosi. Kemampuan menyimak, menatap lawan bicara, dan merespon dengan empati semakin tumpul. Jika situasi ini dibiarkan, bukan hanya prestasi akademik yang terancam, tetapi juga kesiapan siswa dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata baik dalam dunia kerja maupun sosial masyarakat.
Melihat kondisi ini, diperlukan langkah strategis yang konkret dan berkesinambungan untuk mengembalikan arah pendidikan karakter ke jalur yang benar. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah memberikan edukasi secara langsung kepada siswa tentang penggunaan teknologi, terutama gadget dan media sosial, secara bijak. Edukasi ini tidak cukup dilakukan sekali dua kali, melainkan harus menjadi bagian dari rutinitas pembelajaran. Diskusi ringan tentang batasan waktu layar, bahaya konten negatif, hingga cara mengenali dan menangkal hoaks bisa disisipkan dalam berbagai mata pelajaran. Guru bisa mengajak siswa berdialog, bukan menggurui, agar mereka merasa dilibatkan dalam proses pembentukan kesadaran digital.
Langkah kedua yang tak kalah penting adalah membiasakan penyampaian nilai-nilai moral dan etika setiap pagi sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Hanya lima menit, namun jika dilakukan secara konsisten, akan memberi dampak luar biasa. Pesan-pesan sederhana tentang pentingnya senyum, salam, dan sapa, tentang empati dan menghargai perbedaan, akan tertanam dalam pikiran siswa dan menjadi bagian dari kebiasaan harian mereka. Guru bisa bergantian memberikan arahan singkat ini sehingga terasa lebih segar dan tidak monoton.
Namun, penguatan karakter tidak bisa dilakukan hanya oleh guru di ruang kelas. Keterlibatan orang tua juga memegang peranan sangat penting. Oleh karena itu, sekolah perlu secara rutin mengadakan kegiatan parenting, baik berupa seminar maupun workshop. Dalam kegiatan ini, orang tua diberi bekal tentang bagaimana mengawasi penggunaan media digital di rumah, cara membangun komunikasi yang terbuka dengan anak, serta strategi dalam menanamkan nilai-nilai moral sejak dini. Dengan keterlibatan orang tua, terbentuklah sinergi antara sekolah dan rumah dalam membentuk karakter siswa.Tak ketinggalan, peran bimbingan konseling (BK) di sekolah juga harus dioptimalkan. BK bukan lagi sekadar tempat “mengadili” siswa bermasalah, melainkan menjadi ruang pembinaan yang hangat dan solutif. Konseling individu atau kelompok, program mentoring antar siswa, hingga pelatihan soft skill seperti manajemen emosi dan empati, bisa menjadi bagian dari program unggulan BK. Ketika siswa merasa didengar dan didampingi, mereka akan lebih mudah menerima arahan dan memperbaiki perilaku.Dengan upaya-upaya tersebut, diharapkan muncul perubahan positif dalam budaya sekolah. Salah satu indikator keberhasilannya adalah tumbuhnya budaya 3S (Senyum, Salam, Sapa). Siswa menjadi lebih ramah dan terbuka dalam berinteraksi. Lingkungan sekolah pun terasa lebih hangat, tidak dingin dan kaku seperti sebelumnya. Ketertiban dan kedisiplinan siswa juga diharapkan meningkat. Masuk sekolah tepat waktu, tidak bolos, dan mematuhi tata tertib bukan lagi karena takut dihukum, tapi karena kesadaran diri.
Selain itu, penggunaan gadget dan media sosial pun menjadi lebih bijak. Siswa mulai memahami bahwa tidak semua hal harus diunggah. Mereka lebih selektif dalam mengonsumsi dan membagikan informasi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan mereka akan menggunakan media sosial sebagai sarana untuk berkarya, berbagi ilmu, atau mempromosikan hal-hal positif yang bermanfaat.
Yang paling penting, perubahan ini akan berujung pada terbentuknya sikap saling menghargai antar sesama. Siswa akan lebih menghormati guru, menyayangi orang tua, dan menjaga perasaan teman-temannya. Lingkungan sekolah menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk tumbuh dan belajar, bukan arena konflik atau tekanan sosial.
Untuk memperkuat upaya tersebut, sekolah juga dapat mengambil beberapa langkah tambahan. Misalnya, mencanangkan program “Hari Tanpa Gadget” sebulan sekali agar siswa bisa menikmati aktivitas sosial tanpa distraksi digital. Sekolah juga bisa mengadakan lomba kampanye anti-cyberbullying yang dikemas kreatif, melibatkan siswa sebagai duta etika digital. Lebih dari itu, penting juga membuat kontrak sosial antar siswa yang berisi komitmen untuk menjaga etika, saling menghargai, dan tidak menyakiti secara verbal maupun digital. Forum diskusi tentang isu-isu moral dan karakter juga bisa menjadi ruang reflektif yang membangun kesadaran kolektif.
Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa pendidikan karakter bukan sekadar pelengkap dari pendidikan akademik, melainkan fondasi yang menopang seluruh proses pembelajaran. Dalam era digital yang penuh godaan dan tantangan ini, karakter menjadi kompas yang menuntun siswa untuk tetap berada di jalur yang benar.
Oleh karena itu, mari kita satukan langkah. Sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat perlu bekerja sama dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang menumbuhkan karakter mulia. Kita tidak bisa membendung laju teknologi, tetapi kita bisa membekali anak-anak kita dengan nilai-nilai yang membuat mereka tetap manusiawi di tengah dunia yang semakin digital.“Karakter adalah bekal terbaik yang bisa kita berikan kepada anak-anak, agar mereka tidak hanya sukses di dunia, tapi juga mulia di hati.”
Penulis : Awal Nurro’ining, Guru SMK Negeri 3 Jepara